
Perwujudan Masyarakat Madani membawa optimisme dan pesimisme, yaitu antara dapat tercapai dan hanya tergapai. Yang pertama mengandung arti mimpi menjadi nyata, sedangkan yang kedua mimpi hanyalah hampa. Demikian tersirat dari diskusi sejumlah cendekiawan Muslim Indonesia dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk Viabilitas Masyarakat dan Negara Madani di Era Modern, di Menteng, Jakarta Pusat, 5 Agustus 2025.
Hadir antara lain Komaruddin Hidayat, Anwar Abbas, Hajriyanto Y Thohari, Sudarnoto A. Hakim, Didik J. Rachbini, Zaitun Rasmin, Pipip Ahmad Rifai, Sadeli Karim, Agus Wicaksono, Sabriati Azis, selain Pelaksana FGD, M. Din Syamsuddin dan Ahmad Fuad Fanani, masing-masing sebagai Ketua dan Direktur Eksekutif CDCC. Hadir juga Dubes Malaysia utk Indonesia TYT Dato’ Syed Mohammad Hazrin Tengku Hussin, Atase Ugama Shamsuri Bin Ghazali, dan beberapa diplomat Malaysia.
FGD diadakan untuk menyongsong Persidangan Perdana Majelis Cendekiawan Madani (MCM) Malaysia-Indonesia/Malindo di Kuala Lumpur, 21-24 Agustus 2025. MCM dibentuk atas saran Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah M. Din Syamsuddin kepada PM Malaysia Dato’ Seri Anwar Ibrahim sebagai wadah silaturahim dan silatulfikri para cendekiawan Muslim dari dua negara serumpun, dan bertujuan untuk merumuskan Wawasan Masyarakat Madani guna diterapkan dalam konteks negara bangsa di Dunia Islam khususnya.
Dalam FGD, Ketua Bidang Informasi, Communication, and Technology Al-Ittihadiyah mengusulkan konsep Madani 6.0. Industri 4.0 fokus pada produktifitas, efisiensi dengan akselerasi teknologi Digital. Society 5.0 mengintegrasikan physical space dan cyber space ke dalam social fabrics dan manusia menjadi pusatnya. Konsep Madai 6.0 menambahkan Moral space dalam komponen di atas adab dan etika, dengan Nilai Islam sebagai pusatnya. Hal ini berdasarkan perkembangan Agentic Artificial Intelligence (AI) terhadap etika akan semakin riuh dengan autonomous machinery yang bisa take action sendiri tanpa di perintah.
Ketua MUI Pusat Sudarnoto A. Hakim, yang menjadi pengamat Malaysia, menambahkan bahwa dalam konteks Malaysia perwujudan masyarakat madani menjadi tidak mudah karena adanya kendala perkauman atau perpuakan yg kuat. Padahal, katanya, masyarakat madani meniscayakan adanya persamaan dan kebersamaan antar kaum dan puak dalam masyarakat majemuk. Dubes Hajriyanto Y Thohari, Mantan Dubes Indonesia di Beirut, memberi analisa viabilitas masyarakat madani di Timur Tengah yang dinilainya tidak kondusif baik karena faktor kekabilahan/etnisitas maupun sistem kekuasaan dan format pemerintahan yg ada yaitu sistem monarki yg kuat. Maka “saya pesimis masyarakat madani dapat terwujud dalam latar sistem kekuasaan dan politik negara-negara Arab dewasa ini”, ujar Mantan Wakil Ketua MPR itu.
Ketua Center for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC), M. Din Syamsuddin, yg menjadi Moderator FGD, memberi catatan penutup bahwa perwujudan masyarakat madani di Malaysia dan Indonesia perlu tetap dicita-citakan walaupun kita harus responsif terhadap realitas dunia baru. Pergeseran geostrategis, geopolitik dan geoekonomi dunia dewasa ini yg menjadikan kawasan Asia Pasifik sebagai episentrum pertumbuhan dan peradaban dunia memang membawa tantangan tapi juga peluang. “Sikap kita yg terbaik adalah mentransformasi tantangan menjadi peluang. Hal ini antara lain meniscayakan penguatan masyarakat madani dan perbaikan rezim kekuasaan politik, yang berwujud pada kolaborasi positif dan konstruktif di antara kedua pihak”, gagas Guru Besar Politik Islam Global UIN Jakarta itu.
Pikiran-pikiran tadi akan dibawa 40 Anggota Delegasi Indonesia ke Persidangan Perdana Majelis Cendekiawan Madani Malindo, di Kuala Lumpur, akhir Agustus ini. Persidangan MCM Malindo, yg diikuti 99 cendekiawan (59 dari Tuan Rumah dan 40 dari Delegasi Tamu), diharapkan berlangsung setiap tahun secara bergantian di Malaysia dan Indonesia. Persidangan perdana di Kuala Lumpur, yg diorganisasikan oleh Institut Kemajun Islam Malaysia (IKIM), diharapkan dapat dibuka oleh PM Malaysia Dato’ Seri Anwar Ibrahim di Putra Jaya.






