Jakarta, 22 Oktober 2025 – Dalam rangka memperingati Hari Santri Nasional yang jatuh pada 22 Oktober, sebuah data komprehensif tentang Pondok Pesantren Ahlussunnah Wal Jama’ah (ASWAJA) tertua di Nusantara kembali menjadi sorotan. Daftar yang memuat puluhan pesantren ini menunjukkan peran sentral institusi pendidikan Islam tradisional tersebut, tidak hanya sebagai pusat penyebaran ilmu agama, tetapi juga sebagai pilar peradaban dan perjuangan kemerdekaan jauh sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI.
Sejarah mencatat, keberadaan pondok pesantren telah mengakar ribuan tahun di bumi Nusantara. Yang paling mencengangkan adalah Pondok Pesantren Dayah Cot Kala – Peureulak di Aceh, yang konon didirikan pada tahun 899 M, menjadikannya sebagai Pondok Pesantren tertua di Nusantara, bahkan sudah ada sejak zaman Kerajaan Islam Peureulak. Usianya kini diperkirakan mencapai 1.126 tahun.
Perkembangan pesat kemudian menyebar ke Jawa, dengan hadirnya Ponpes Al-Kahfi Somalangu di Kebumen, Jawa Tengah, pada tahun 1475 M. Pondok pesantren yang didirikan oleh Sayyid Abdul Kahfi Al-Hasani dan Sayyid Muhammad Ishom Al-Hasani ini menjadi yang tertua di Jawa, dengan usia lebih dari lima setengah abad.
Memasuki abad ke-17, pesantren tidak hanya menjadi lembaga spiritual. Beberapa di antaranya bahkan berperan aktif dalam melawan penjajah. Contohnya adalah Pondok Pesantren Luhur Dondong di Semarang (1609 M), yang pendirinya, Kyai Syafi’i Pijoro Negoro, merupakan salah satu komandan militer Mataram Islam era Sultan Agung. Begitu juga Pondok Pesantren / Dayah / Ma’had Baitul Maqdis di Aceh (Abad ke-16), yang didirikan bekerja sama dengan Kesultanan Ottoman sebagai sekolah agama berbasis militer untuk melawan VOC. Ma’had ini bahkan melahirkan tokoh pejuang legendaris seperti Laksamana Keumalahayati.
Abad ke-18 dan ke-19 menjadi era keemasan pendirian pesantren di berbagai wilayah, terutama di Jawa Timur dan Jawa Barat. Nama-nama besar seperti Ponpes Sidogiri – Pasuruan (dirintis 1718, berdiri 1745) oleh Sayyid Sulaiman Basyaiban, Pondok Pesantren Tegalsari Ponorogo (1742) oleh Ki Ageng Muhammad Besari, dan Pondok Pesantren Buntet (Cirebon) (1750) oleh Mufti Agung Kyai Muqoyyim, menjadi mercusuar ilmu dan spiritualitas. Di Madura, berdiri Ponpes Nazhatu Thullab / Prajjan (1702), dan di Sidoarjo, ada Ponpes Al-Hamdaniyah Siwalan Panji (1787).
Menjelang kemerdekaan, pesantren-pesantren ini kian berperan dalam membentuk kesadaran kebangsaan dan melahirkan ulama-ulama kharismatik. Pondok Pesantren Bahrul Ulum – Tambak Beras (Jombang) didirikan pada 1838, disusul oleh Ponpes Syeikhuna Kholil – Bangkalan (1861) yang didirikan oleh Syaikh M Kholil, dan yang paling monumental adalah Pondok Pesantren Tebu Ireng – Jombang (1899) yang didirikan oleh Hadratusy-Syaikh KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama.
Pesantren-pesantren dari luar Jawa pun turut mencatatkan sejarahnya, seperti Pondok Pesantren Al-Mushthofawiyah – Purba Baru – Mandailing Natal (1912), Pondok Pesantren Darussalam – Martapura Kalsel (1914), dan Pondok Pesantren Diniyyah Puteri Padang Panjang – Sumbar (1923) yang didirikan oleh tokoh perempuan Siti Rahmah El-Yunusiyyah. Bahkan, pondok pesantren modern seperti Darussalam Gontor juga tercatat berdiri pada tahun 1926.
Data ini, yang disusun untuk menyambut Hari Santri, menegaskan bahwa para santri dan pondok pesantren adalah “benteng ummat dan pintu cakrawala keilmuan” yang telah mengawal perjalanan bangsa Indonesia selama berabad-abad, mulai dari masa kerajaan Islam, perjuangan melawan penjajah, hingga menjelang proklamasi kemerdekaan. Peran historis ini menjadi pengingat akan pentingnya menjaga dan memajukan institusi pendidikan Islam tradisional ini di masa kini.
Selamat Hari Santri 22 Oktober 2025.





